MORAL NEWS_BANTAENG. Sabir, Kepala Desa, mengungkapkan bahwa masalah terkait Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang sudah melewati batas waktu pengurusan masih bisa diselesaikan, meski melalui jalur mandiri.
"Masalahnya itu bukan lagi PTSL sudah lewat masa pengurusannya, jadi saya coba-coba ke BPN untuk mempertanyakan apakah ini masih bisa diurus atau tidak. Pihak BPN merespon masih bisa, tapi mandiri," ujar Sabir saat ditemui.
Menurut Sabir, pihak BPN memberikan penjelasan bahwa meskipun waktu program sudah habis, warga masih memiliki kesempatan untuk mengurus sertifikat tanah melalui prosedur mandiri. Namun, hal ini membutuhkan usaha lebih dan biaya yang ditanggung oleh pemohon.
Kepala Desa berharap warga yang belum sempat mengikuti program PTSL dapat segera mengurus sertifikat mereka agar status kepemilikan tanah menjadi jelas dan sah di mata hukum. "Ini penting agar masyarakat tidak terkendala masalah administrasi tanah di kemudian hari," tambahnya.
Masalah pembuatan sertifikat tanah di Desa Sabir kembali mencuat setelah Kepala Desa Sabir dan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan jawaban yang berbeda.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberikan klarifikasi terkait program redistribusi tanah di Desa Bonto Lojong, Kabupaten Bantaeng, yang menjadi sorotan masyarakat karena adanya pungutan biaya dalam pelaksanaan program sertifikasi tanah.
Menurut perwakilan dari pihak BPN, program redistribusi tanah ini merupakan bentuk bantuan pemerintah untuk penerbitan sertifikat tanah khususnya untuk lahan pertanian seperti kebun dan sawah. Program ini diklaim gratis, mulai dari tahap pengukuran hingga pengurusan dokumen, karena seluruh biayanya ditanggung oleh negara.
Namun, pihak BPN menjelaskan bahwa dalam praktiknya, pelaksanaan redistribusi tanah belum sepenuhnya diatur secara detail dalam peraturan resmi seperti halnya program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
“Biasanya program seperti ini tidak betul-betul gratis. Dalam aturan PTSL yang ditandatangani oleh tiga menteri, termasuk Menteri Agraria dan Menteri Dalam Negeri, ada ketentuan biaya pra-sertifikasi. Untuk Sulawesi Selatan, maksimal biayanya Rp250.000 per bidang. Dana ini dikelola oleh pemerintah desa, bukan oleh BPN,” jelas pejabat BPN yang enggan disebutkan namanya.
Biaya tersebut mencakup kebutuhan teknis seperti patok batas tanah, materai, serta operasional lapangan. BPN juga menegaskan bahwa mereka tidak terlibat langsung dalam pengelolaan dana tersebut dan hanya bertanggung jawab dalam proses teknis pengukuran serta penerbitan sertifikat.
“Pemerintah desa yang mengajukan permohonan, mengumpulkan data masyarakat, lalu menyerahkan ke BPN untuk ditindaklanjuti. Biaya di luar dari proses itu, kami dari BPN tidak mengetahuinya,” tegasnya.
Sementara itu, aktivis masyarakat, Putra, menyoroti adanya dugaan pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum desa dalam proses redistribusi tanah ini.
“Memungut biaya tambahan dari masyarakat untuk pelayanan administrasi desa, termasuk pembuatan sertifikat redistribusi tanah, adalah praktik pungli yang dilarang dan dapat dikenakan sanksi hukum,” tegas Putra.
Menurutnya, pemerintah harus memperketat pengawasan dalam pelaksanaan program redistribusi tanah agar tidak memberatkan masyarakat dan memastikan bantuan pemerintah benar-benar dirasakan oleh warga.
Dalam setiap tahapan sosialisasi, pihak BPN mengaku telah menyampaikan bahwa batas biaya maksimal yang diperkenankan adalah Rp250.000, dan tidak boleh melebihi jumlah tersebut.